Jpeg

Sudah setahun terakhir ini sejak saya memutuskan untuk meninggalkan suasana nyaman di Surabaya dikelilingi banyak kawan-kawan akrab saya. Saya tidak benar-benar tahu kenapa dulu saya memilih untuk begitu. Rasanya toh Surabaya sudah berbeda. Saya sudah lulus kuliah. Kawan-kawan saya yang lain pun juga begitu, sudah sibuk dengan urusan pekerjaan masing-masing. Sedang adik-adik saya di ITS TV sudah semakin jauh usianya dengan saya. Semakin tidak lagi nyambung dengan guyonan-guyonan saya. Lalu begitulah akhirnya, saya memilih pergi berpetualang sendiri. Menjauh dari tempat yang sudah saya anggap sebagai rumah saya sendiri.

Kini, setelah setahun berlalu saya mulai merasakan perbedaan. Saya lebih tertutup, malas mengenal orang-orang di sekitar saya. Lebih banyak diam, bekerja, menonton film, berjalan-jalan sendiri kemana saya mau pergi. Saya makin jadi penyendiri. Saya bahkan sama sekali tidak tertarik untuk sekedar mengobrol dan berkenalan dengan orang-orang yang tinggal di tempat saya indekost. Untuk apa kata saya. Pun juga dengan kawan-kawan kantor. Sekedar membahas pekerjaan. Basa basi bertanya soal asal darimana, dulu kuliah dimana, dll. Sama sekali tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh. Karena sekali lagi, untuk apa?

Kini, saya adalah orang yg sendirian di tengah keramaian ibukota. Pergi berkeliling berjalan kaki, atau naik transjakarta, dengan headset terpasang di telinga tanpa peduli sekeliling. Duduk di kafe saat weekend sambil membuka laptop dan asik mengerjakan pekerjaan yang orang lain berikan ke saya. Atau sekedar browsing melihat berita seputar teknologi maupun mengubek-ubek situs toko online untuk mencari tahu barang elektronik mana yang sedang diskon dan menarik untuk dibeli.

Kawan-kawan seumuran saya sekarang mungkin tidak sedikit yang sudah berkeluarga, bahkan punya anak. Kalaupun ada yang belum, mungkin mereka sedang sibuk mencari jodoh, atau giat bekerja untuk segera meresmikan hubungan bersama kekasih. Sedangkan saya disini, justru semakin mempertanyakan urgensi pernikahan. Bayangan akan memiliki keluarga justru semakin buram di kepala saya. Hidup saya mungkin sepi, tapi saya juga tak punya alasan yang kuat kenapa hidup saya perlu ditemani.

Dulu, 5-6 tahun lalu, saya begitu mudah menyukai perempuan yang saya temui. Dan saya pun ada keinginan serta ada usaha (meskipun tidak banyak) untuk minimal, sekedar mendekati. Tapi ternyata semuanya juga berakhir dengan orang yang saya suka menemukan orang lain yang lebih berani mengajaknya jadi pasangan. Sementara saya, masih asik dengan imajinasi saya akan perasaan suka. Tapi saya tidak pernah patah hati. Nyatanya dengan mudah saya bisa kemudian suka lagi dengan orang lain. Untuk kemudian mengulang lagi pola yang sama terus menerus begitu.

Hingga kemudian saya sadar. Rasa suka itu tidak pernah benar-benar ada. Saya hanya memuaskan imajinasi saya seakan-akan saya memang punya sosok orang yang saya suka. Saya hanya sedang berkhayal akan cinta. Bukan merasakan cinta itu sendiri. Kenyataannya, hingga hari ini, saya hanya pernah jatuh cinta pada diri saya sendiri.

Dari sini saya memutuskan, untuk tak lagi terlalu peduli dengan imajinasi saya akan rasa suka tadi. Saya bahkan mulai malas mengenal terlalu jauh perempuan yang saya temui agar saya tak perlu memberi makan imaji cinta saya tadi. Saya tak mengajak cinta untuk masuk ke diri saya. Tapi juga tak melarang seandainya suatu saat benar-benar ada rasa cinta yang ingin masuk.

Saya biarkan alam bekerja tanpa saya berusaha mengatur. Saya biarkan diri saya merespon segala sesuatu bukan karena saya ingin, tapi karena itu adalah reaksi spontan yang tak bisa saya hindari.

Though I’m passed one hundred thousand miles, I’m feeling very still
(Space Oddity – David Bowie )

7 thoughts on “Chasing Imagination

Leave a reply to delinarahayu Cancel reply